Selain moment sakral pengibaran bendera, acara kesenian yang menampilkan kesenian daerah (baik itu paduan suara, tarian, kelompok musik daerah, dan lain-lain) adalah satu hal lainnya yang juga menjadi perhatian banyak orang.
Tahun ini, ada penampilan Rinding Gumbeng, salah satu kesenian tradisional asal Gunung Kidul. Merasa asing dengan Rinding Gumbeng? Rinding Gumbeng adalah alat musik yang terbuat dari bambu yang sekilas mirip harpa mulut.
Meski yang tampil di istana negara adalah kelompok musik Rinding Gumbeng dari Gunung Kidul, nyatanya alat musik Rinding tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Tentu saja dengan nama yang berbeda, sesuai dengan bahasa daerah masing-masing.
Di Bali misalnya, ada alat musik bernama genggong. Lalu di Papua ada alat musik bernama Pikon yang bentuk dan bahannya mirip dengan Rinding. Untuk nama Rinding sendiri, selain akrab di masyarakat Gunung Kidul, D.I Yogyakarta, Rinding juga menjadi alat musik tradisonal warga Malang. Sementara di daerah Jawa Barat, disebut dengan nama Karinding. Dari sini, kita bisa lihat betapa kayanya budaya Indonesia.
Bahan dan Cara Memainkan Rinding
Seperti yang sudah sedikit disinggung di atas, Rinding adalah alat musik tradisional yang terbuat dari bambu. Namun, bukan sembarang bambu. Bambu yang digunakan adalah bambu Begung. Sebagai pelengkap, dibutuhkan juga pelepah aren.
Sebilah bambu yang dipakai untuk membuat Rinding diberi lubang di bagian tengah dan dibuat seperti jarum yang panjangnya 20-an cm. Lalu pada salah satu ujungnya diberi seutas tali kecil dan di sisi lainnya berfungsi sebagai pegangan.
Bejo Sandy atau Bejo Rinding—seorang seniman yang menaruh perhatian khusus pada alat musik Rinding—mengungkapkan bahwa bambu yang sudah tua, sangat bagus jika dibuat menjadi Rinding. Semakin tua dan kering bambu yang digunakan, resonansi suara yan dihasilkan juga akan lebih bagus.
Cara memainkan Rinding pun terbilang unik. Rinding diletakkan di mulut, kemudian tali yang dihubungkan dengan lidah getar berupa lamela logam, ditarik-tarik. Mulut orang yang memainkan Rinding pun berfungsi sebagai resonator.
Dengan perpaduan gerakan tersebut, muncullah bunyi instrumen yang bersifat personal, alias tergantung dari perasaan pemainnya. Sebab, Rinding tidak seperti gitar, piano, atau seruling yang memiliki nada.
Rinding yang Melekat dalam Kisah Dewi Sri
Rinding atau Rinding Gumbeng adalah salah satu alat musik tradisional yang berusia ratusan tahu. Di daerah Gunung Kidul, masyarakat biasa memainkan Rinding Gumbeng saat panen hasil bumi. Saat panen tiba, masyarakat Gunung Kidul memainkan Rinding Gumbeng untuk mengundang Dewi Sri—yang dalam mitologi Jawa dikenal sebagai dewi kesuburan.
Masyarakat meyakini bahwa Dewi Sri yang terhibur dengan permainan musik Rinding Gumbeng akan memberi berkat berupa kesuburan tanaman dan hasil panen yang lebih bagus dalam jumlah yang juga lebih melimpah.
Berdasarkan penuturan Sri Hartini (Ketua Kelompok Rinding Gumbeng Ngawen), di Gunung Kidul, Rinding Gumbeng biasanya dimainkan saat upacara adat Sadranan di Hutan Adat Wonosadi, Kelurahan Beji, yang digelar setahun sekali.
Di luar itu, alat musik Rinding juga sudah sejak lama digunakan sebagai alat pengusir hama sekaligus hiburan bagi para petani saat menjaga padi.
Rinding Gumbeng, Unik tetapi Asing di Kalangan Generasi Muda
Meski unik, khas, dan punya nilai sejarah, nyatanya Rinding terbilang asing di kalangan generasi muda. Saya sendiri pun baru tahu tentang Rinding saat menonton rangkaian acara Peringatan HUT Ke-77 RI.
Melihat bagaimana kelompok musik seperti Rinding Gembong Ngawen yang dipimpin oleh Sri Hartini, saya rasa sudah sepatutnya diapresiasi sebagai sebuah langkah nyata untuk melestarikan kesenian tradisional. Usaha untuk mengolaborasikan Rinding Gembong dengan alat musik tradisional lainnya pun menjadi strategi jitu untuk menarik perhatian banyak orang terhadap Rinding Gumbeng.
Revitalisasi ini juga sempat digagas oleh Angga Ridho Subangga dari Kabupaten Malang yang memberikan nafas baru untuk pemain, pembuat, hingga pemerhati kebudayaan kita berupa Rinding, serta kehidupan sosial masyarakat di sekitarnya.
Angga berhasil menghidupkan kembali alat musik rinding melalui komunitas dengan harapan rinding akan kembali mewarnai musik di Indonesia. Rinding adalah warisan nenek moyang kita, ia adalah budaya yang wajib kita lestarikan, harta kekayaan yang harus kita lindungi, sebelum ia menghilang dan tergerus oleh masifnya budaya asing yang masuk ke negeri kita.
Pantaslah Angga Ridho Subangga mendapatkan Satu Indonesia Awards dari Astra. Yuk kita jaga dan lestarikan pula rinding di sekitar kita.
Sebagai warisan nenek moyang bernilai seni tinggi, sudah sepantasnya jika Rinding Gumbeng dilestarikan. Jangan sampai, karena terpapar seni dan budaya asing, seni dan budaya dari negeri sendiri jadi terlupakan.
No comments
Post a Comment