Sekira tahun 2018 saya berkunjung ke Grand Watu Dodol Banyuwangi usai acara pernikahan sepupu yang meriah saat itu. Saya dan keluarga menyewa bus dari Malang agar bisa sampai kesana dengan nyaman. Kali terakhir perjalanan ke Banyuwangi saat Kakek saya masih ada, kira-kira tahun 2006 dan kebetulan kami naik kereta. Jadi ngga sempat mampir kemana-mana selain silaturahim ke rumah paman saya.
Sebenarnya agak merinding juga sih mengisahkan ini, merinding karena sedih dan kejadian yang terjadi di depan mata kami saat itu terasa masih sangat nyata meskipun sudah lama berlalu. Kalau diingat-ingat kejadian di Grand Watu Dodol waktu itu, rasanya kaki saya masih terasa "gemetar" huhu..
Mengenang Kejadian di Grand Watu Dodol
“Oke 30 menit ya.” ucap Ayah kami saat itu. Waktu maksimal untuk bermain disini, Grand Watu Dodol.
Empat laki-laki bersaudara mula-mula membasahi kaki mereka. Lalu mengambil pose di kedalaman kurang lebih 130cm. Tak puas dengan itu, mereka mencoba untuk berenang. Air yang sangat jernih memang sangat menggoda, sayang jika hanya dinikmati oleh mata.
Tak sadar salah satu diantara keempat bersaudara itu sudah jauh dari bibir pantai, kakinya tak mampu lagi menapak dasar laut.
“Tolong! Tolong!”
Sang adik yang tingginya 187cm mencoba menolong sang kakak, gagal. Arus terlalu deras, dia pun tak mampu berenang melawan arus bawah laut yang baru datang baik dari utara maupun selatan.
Ketiga saudaranya bahkan hanya bisa melihat dengan hati teriris, tak mampu berbuat apa-apa karena arus yang mengkhawatirkan. Para nelayan pun banyak yang menatap dari kejauhan saat kepala sang kakak yang kami lihat berusaha tetap di permukaan. Mengapung terseret arus, jauh dan semakin jauh. Meskipun bisa berenang, laut lepas tetap menjadi misteri saat arus tiba-tiba datang.
Menit itu, kematian begitu dekat di depan kami. Kapan saja ia bisa merenggut orang yang kami sayangi.
Beruntung salah satu kapal nelayan baru saja tiba dari perairan. Om saya waktu itu langsung berteriak meminta pertolongan sang nelayan. Barulah saat itu kami semua seperti tersadarkan dari segala bentuk lamunan dan ketegangan karena tak tahu apa yang harus dilakukan untuk menolong satu nyawa yang sudah terseret arus di sana.
Sang Nelayan segera menyalakan kapalnya, menolong kakak kami yang sudah mulai lemas namun tetap berusaha untuk tetap mengambang. Saat kapal tiba, dari kejauhan kami melihat betapa susahnya kakak kami untuk menaiki kapal. Satu kaki dinaikkan, lalu gagal. Tampak wajahnya yang terengah-engah, begitupun sang nelayan yang hanya seorang diri, tak kuasa mengangkat tubuh kakak kami yang lebih besar dari tubuh sang nelayan.
Nelayan pun memberi saran agar kakak tetap tenang, bernapas, beristirahat agar tetap mengambang. Jika sudah dapat energi barulah berusaha untuk menaiki kapal lagi.
Lama, bermenit-menit kami menanti sesuatu yang sangat mencemaskan dan mengiris hati kami. Hingga akhirnya kakak berhasil naik ke kapal dengan susah payah. Kelegaan langsung terpancar dari wajah-wajah yang sedang menanti di pinggir pantai. Ucapan syukur terucap, hati saya saya kembali hangat. Ya Allah, terimakasih sudah mengembalikan kakak kami.
Saat itu kami semua terdiam. Tersadar bahwa kematian sedang menyapa dan mengingatkan kami, tidak ada yang abadi.
Tetap waspada dan hati-hati ya teman-teman, jangan pernah berenang ketika hari sudah menjelang sore, apalagi di daerah yang memang tidak diperbolehkan untuk berenang.
Saat itu, kami memang salah memasuki pintu pantai. Sehingga tidak melewati papan besar yang memperingatkan agar pengunjung tidak berenang di sekitar pantai tersebut. Akhirnya ketika sudah sampai pinggir pantai, kami melewatkan pesan dalam papan itu.
Baru tersadar ketika kejadian yang hampir merenggut nyawa kakak saya ini terjadi. Ketika banyak nelayan dan beberapa penjual minuman mengatakan bahwa di pantai ini tidak diperbolehkan untuk berenang. Terlambat. Untungnya, kakak saya masih terselamatkan.
Ternyata ada arus bawah laut dan perbedaan ketinggian di dekat bibir pantai. Hal ini memang sangat berbahaya. Perbedaan ketinggian yang signifikan, lalu langsung disambut oleh arus bawah laut yang ganas.
jernihnya air di Grand Watu Dodol |
Posisinya hanya beberapa meter dari bibir pantai. Jadi ketika berenang pasti tidak terasa badan terbawa menjauh dari pantai, lalu tiba-tiba kaki tidak lagi bisa menggapai dasar laut. Pada saat itulah arus bawah laut perlahan-lahan membawa apa saja yang ada di sekitarnya untuk tenggelam.
Beruntung kakak saya bisa berenang dan masih bisa bertahan dengan sisa-sisa energinya. Membayangkan saya yang ada di sana dan tidak bisa berenang, entah apa yang akan terjadi selanjutnya.
Karena kejadian tersebut, kami tak lagi berselera untuk menikmati keindahan Grand Watu Dodol, itulah kenapa saya pun tak punya banyak foto di sana. Gimana sempat mau motret sana-sini, baru turun, baru akan explore, disuguhi kakak saya yang hampir tenggelam huhu..
Padahal, di Grand Watu Dodol tersebut kita bisa menikmati berbagai fasilitas lho. Tidak hanya bisa menikmati Selat Bali dengan pemandangan Pulau Bali dan pengunjung juga bisa melewati anjungan dengan material kayu memanjang dari utara ke selatan, tapi juga bisa menikmati pantai dari ketinggian dan turun dari anjungan menuju pantai di bawah pepohonan kelapa dan cemara.
Selain itu, kita juga bisa melakukan diving, snorkling sambil menikmati pemandangan terumbu karang serta menyewa perahu menuju Pulau Tabuhan. Sayang sekali kami tidak bisa menikmati itu..
No comments
Post a Comment